Struktur Ekonomi Indonesia saat ini, dilihat dari pelakunya menunjukkan bentuk atau struktur piramidal, yaitu pelaku ekonomi yang berada di posisi puncak, terdiri dari perusahaan besar yang jumlahnya hanya 0,01% atau terkecil. Sebaliknya mayoritas pelaku ekonomi terbesar atau 99,99% justru berada di dasar piramida, yaitu pelaku-pelaku ekonomi berupa perusahaan mikro, kecil dan menengah, demikian disampaikan Prof. Dr. Maman Suratman, dalam orasi ilmiah pada sidang terbuka Senat Akademik Universitas Widyatama, Kamis 1 Februari 2024. Dalam orasi ilmiah pengukuhan dirinya selaku Guru Besar pada sidang terbuka Senat Akademik, dipimpin Rektor Widyatama, Prof. Dr. Dadang Suganda, Prof. Maman menilai struktur piramidal seperti itu, lemah karena tidak mengakar pada rakyat. Dikatakan, struktur semacam itu juga rapuh dilihat dari kepentingan nasional sebagai sebuah bangsa yang mencita-citakan kehidupan yang sejahtera, demokratis, adil dan makmur bagi semua orang.
Struktur yang ideal adalah struktur belah ketupat, yaitu gemuk di tengah dan lancip di bagian atas dan bawah. “Struktur ini mengindikasikan bahwa pengusaha-pengusaha menengahlah yang dominan, yang juga mengindikasikan kehidupan berdemokrasi yang kondusif dan ideal karena ditopang kelas usaha menengah yang kuat,” jelasnya di hadapan undangan yang hadir pada acara pengkuhukannya itu. Pada struktur piramidal, menurutnya peluang terjadinya ketimpangan ekonomi dan sosial sangatlah besar. Hal ini karena kemungkinan yang terjadi adalah sekelompok kecil pengusaha menguasai sebagian besar “kue” nasional yang dihasilkan (Kurva Lorenz; 20% penduduk menguasai 80% pendapatan Nasional, atau sebaliknya 80% penduduk hanya menikmati 20% pendapatan nasional). Usaha Mikro Kecil yang jumlahnya besar ternyata tidak otomatis menghasilkan kekuatan, karena Usaha Mikro Kecil pada umumnya menghadapi sejumlah masalah yang menghambat pertumbuhannya, jelasnya dengan menambahkan: “Masalah tersebut antara lain sulitnya akses terhadap sumber permodalan, pemasaran, penguasaan teknologi dan informasi, serta lemahnya kualitas sumber daya manusia”
“Sedangkan untuk masalah permodalan, diperkirakan sekitar 70% usaha mikro belum bankable. Salah satu upaya agar Usaha Mikro Kecil memiliki kekuatan untuk tumbuh dan berkembang, adalah dengan membinanya melalui wadah Koperasi,” kata dosen manajemen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Widyatama itu.
Berbicara tentang Koperasi, menurutnya hal ini sangat diperlukan dalam proses pembangunan. Pengembangan koperasi diperlukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan Usaha Mikro Kecil di negeri ini. Guru Besar pertama pada Universitas Widyatama bersama rekannya Prof. Zulganef selanjutnya berpendapat, bila dijalankan dengan benar dan berhasil, koperasi dapat memberikan dampak mikro dan makro, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dampak mikro secara langsung timbul jika perusahaan koperasi berhasil menawarkan kepada para anggotanya jasa-jasa layanan yang secara efektif dan efisien dapat meningkatkan kegiatan usaha mereka melalui usaha perkreditan, pengadaan alat-alat produksi, pemasaran dan sebagainya. Sementara itu dampak lebih jauh, para anggota pun dimungkinkan untuk menerapkan metode-metode produksi inovatif yang mampu mendorong peningkatan produktivitas yang lebih besar, serta melakukan diversifikasi atau spesialisasi dalam proses produksi.
Sedangkan dampak mikro secara tidak langsung menurut dosen senior itu misalnya dampak yang bersifat kompetitif yaitu dampak positif terhadap struktur pasar, para pesaing mau tidak mau harus memperbaiki pelayanan mereka, sehingga persaingan menjadi lebih efektif, alokasi sumber daya menjadi lebih efisien. Berbicara tentang dampak makronya, Guru Besar yang menyelesaikan pendirikan program Doktoralnya dari UPI Bandung, antara lain bahwa koperasi dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan politik, sebagai dampak belajar para anggota berdemokrasi di dalam koperasi, perlindungan anggota melalui keputusan-keputusan politik atau karena meningkatnya bargaining power melalui koperasi.
Selain itu, koperasi juga bisa memberikan kontribusi dalam pembangunan sosial budaya, karena koperasi merupakan perkumpulan sukarela yang terbangun dari bawah, yang diharapkan berpangkal dari struktur sosial yang ada dan dapat merangsang inovasi tertentu. Ini dapat mengubah masyarakat tradisional tanpa merusak identitas budaya mereka. Sementara dari sisi pembangunan ekonomi yang bersifat makro atau nasional, koperasi juga akan mampu memberikan kontribusi terhadap perilaku produktif para petani maupun perajin dengan menggunakan sumber-sumber daya sendiri, diversifikasi struktur produksi, kontribusi terhadap pengadaan pangan nasonal, pertumbuhan ekspor, peningkatan pendapatan nasional dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Peran makro secara nasional pada dasarnya merupakan agregasi peran-peran mikro koperasi. Jadi, bila peran makro belum terwujud saat ini, hal tersebut merupakan cerminan belum berhasilnya koperasi sebagai perusahaan, tambah Prof. Mengutip pendapat Alfred Hanel menurut prof. Maman bahwa agar pendirian suatu koperasi berhasil, dituntut untuk memenuhi persyaratan :
(a) Bahwa ada para calon anggota yang merasa tidak puas atas kondisi ekonomi dan sosial yang dihadapinya dan berkeinginan secara aktif untuk memperbaikinya;
(b) Mereka memiliki pengetahuan koperasi yang memadai untuk mengaplikasikan konsep koperasi sebagai intrumen yang paling tepat untuk mencapai kepentingan mereka bersama;
(c) Terdapat keuntungan potensial yang dapat direalisasikan untuk memenuhi kebutuhan mereka;
(d) Mereka termotivasi untuk bergabung dalam koperasi dan siap memberikan kontribusi material dan financial (keuangan) sejak awal pendirian;
(e) Terdapat cukup calon anggota atau orang luar yang siap mengambil peran dan menjalankan fungsi wirausaha dalam pendirian koperasi.
Pola Kemitraan Usaha Bangun Sumber Daya Manusia SDM) Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dapat dilakukan melalui kemitraan. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2019 terjalinnya kemitraan Usaha Mikro Kecil (UMK) dengan Usaha Menengah Besar (UMB) baru mencapai 7%. Program kerjasama dalam berbagai pola kemitraan antara pengusaha mikro kecil dengan usaha besar/menengah (BUMN, Swasta, Koperasi) memegang peranan penting. Dengan berbagai pola kemitraan baik dalam usaha dengan sektor ekonomi yang sejenis maupun lintas sektoral diharapkan masing-masing pihak dapat membentuk sebuah sistem kerja yang harmonis dan menyeluruh.
Sehingga mekanisme dan kerja tersebut dapat saling menunjang untuk berkembang dan saling menguntungkan, yang pada akhirnya dapat memperkokoh perekonomian nasional sesuai dengan pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.
Dalam suatu sistem ekonomi setiap pelaku ekonomi akan mencari atau pun membentuk jaringan hubungan antara satu dengan lainnya dan pada akhirnya akan menciptakan pasar atau berhadapan dengan bentuk pasar. Dalam sistem ekonomi pasar, para pelaku ekonomi dalam jaringan hubungannya akan berusaha untuk menentukan posisinya. “Demi mencapai tujuan usaha, maka masing-masing pihak terdorong untuk menggunakan faktor-faktor produksi secara optimal dan efisien. Dalam kondisi demikian, interaksi ekonomi antar pelaku ekonomi akan mendorong pemisahan kekuatan,” kata Prof. Maman Suratman yang lulus sarjana S-1 dan S-2 nya dari Universitas Pajajaran, Bandung itu. Bagi pelaku-pelaku ekonomi yang kuat akan lebih dominan dalam menikmati kondisi pasar maupun penggunaan sumber daya ekonomi, sehingga menjurus kepada kegiatan eksploitasi kepada pihak yang lemah.
Kekuatan dan kelemahan bargaining position satu pihak dalam kemitraan dapat disebabkan banyak faktor yaitu dapat bersifat internal, meliputi aspek manajemen, permodalan, teknologi, pemasaran, sumber daya, maupun eksternal meliputi aspek struktur pasar, kebijaksanaan pemerintah, kondisi lingkungan dan informasi usaha.
Faktor-faktor internal yang mempengaruhi kegiatan usaha mikro kecil sifatnya masih dapat diketahui dan dapat dikendalikan. Sedangkan aspek eksternal sifatnya sulit untuk dikendalikan. Faktor ini apabila dikaitkan dengan kepentingan pasar, maka akan mendorong timbulnya “conflict of interest” antar pihak yang menjalin hubungan kernitraan, seperti :
- Pengusaha besar sebagai pemasok barang penting bagi kegiatan Usaha Mikro Kecil, maka pengusaha mikro kecil menghadapi pilihan produk yang terbatas dan secara individu pengusaha mikro kecil bukan merupakan pembeli utama (monopsoni).
- Sebagai pemasok barang untuk kepentingan produksi pengusaha besar (pasar oligopsoni), maka produk pengusaha mikro kecil bukan merupakan input penting bagi mitra usahanya.
- Pengusaha mikro kecil dan pengusaha besar bersaing di pasar baik menjual barang yang sejenis atau barang-barang substitusi dan umumnya persaingan tersebut akan melemahkan posisi pengusaha mikro kecil.
Bagi pelaku ekonomi yang survive dan mampu memaksimalkan laba melalui persaingan pasar, secara bertahap akumulasi laba merupakan kekuatan dalam meraih kesempatan mendominasi penggunaan sumber daya ekonomi. Sebaliknya kelompok-kelompok pengusaha mikro kecil yang dihadapkan pada berbagai keterbatasan harus mengubah “survival strateginya” dengan cara diversifikasi produk (pengembangan produk) atau mencari mitra usaha yang sesuai dalam upaya mengantisipasi mekanisme pasar maupun mekanisme sumber daya ekonomi.
Dalam upaya mengharmoniskan, kepentingan para pelaku ekonomi yang terikat dalam pola kemitraan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal, akan berhubungan dengan masalah produksi, pemasaran, manajemen dan sumberdaya manusia dan teknologi. Tingkat efisiensi, produktivitas dan keuntungan yang dicapai oleh pelaku ekonomi yang terlibat dalam pola kemitraan akan tercapai apabila didukung oleh adanya pembagian kerja dan biaya usaha yang jelas untuk masing-masing pihak.
Sementara itu kebijakan pembinaan Koperasi dan UMKM tahun 2015 – 2019; “peningkatan daya saing UMKM dan Koperasi sehingga mampu tumbuh menjadi Usaha yang berkelanjutan dengan skala yang lebih besar dalam rangka untuk mendukung kemandirian perekonomian nasional”. Salah satu programnya yaitu Kemitraan dan Perluasan Akses Pasar KUMKM. Sebagai upaya mencapai tujuan tersebut perlu diciptakan harmonisasi kemitraan antara pengusaha mikro kecil dan pengusaha besar.
Dampak Kemitraan Dengan adanya kemitraan yang harmonis, ini diharapkan bahwa :
- Pengusaha mikro kecil dan mitranya (pengusaha besar) akan mampu menciptakan nilai tambah, terjadinya efisiensi dan produktivitas usaha bagi kedua pihak dan selanjutnya akan memperkuat ekonomi dan industri nasional;
- Menciptakan dan meningkatkan alih pengetahuan dan keterampilan manajemen;
- Kemitraan antara pengusaha mikro kecil dengan pengusaha besar diharapkan akan berlangsung dengan harmonis, jika kemitraan tersebut didasarkan atas kepentingan ekonomi atau adanya motivasi bisnis dari kedua belah pihak.
Menurut Prof. Maman, hal itu artinya melalui kemitraan tersebut, masing-masing akan memperoleh keuntungan yang besar jika dibandingkan dengan tidak melakukan kemitraan.
Hal semacam ini dapat terjadi dalam Usaha Mikro Kecil menghadapi keterbatasan manajerial, teknis maupun akses terhadap sumber daya dan pasar, sehingga dirasakan perlu bagi pengusaha mikro kecil untuk melakukan kerjasama dengan pengusaha besar untuk mengatasi keterbatasannya tersebut.
Seangkan di lain pihak pengusaha besar menghadapi kondisi bahwa apabila melakukan seluruh kegiatan usahanya sendiri malah tidak efisien, oleh karena dibutuhkan investasi yang lebih besar, perhatian yang lebih besar serta faktor-faktor lain yang pada dasarnya membutuhkan energi atau upaya yang lebih besar yang pada akhirnya membutuhkan biaya yang besar.
Melalui kemitraan dengan pengusaha mikro kecil, menurut Prof. Maman maka tidak seluruh kegiatan usaha dari pengusaha besar dikerjakan sendiri, akan tetapi sebagian bebannya dialihkan kepada pengusaha mikro kecil.
Kemitraan semacam itu akan mengurangi beberapa komponen biaya dari pengusaha besar, walaupun di lain pihak akan timbul biaya sebagai akibat dari kemitraan yang dilakukan atau ada semacam konpensasi biaya dalam bentuk pembinaan.
Sepanjang konpensasi biaya bagi pengusaha besar lebih kecil jika dibandingkan dengan melakukan kegiatan sendiri, maka kemitraan dengan pengusaha mikro kecil akan merupakan alternatif yang baik bagi pengusaha besar. Pengusaha besar akan mempunyai motivasi dan berupaya untuk melakukan kemitraan dengan pengusaha mikro kecil.
Jadi yang dimaksud dengan kemitraan antara Pengusaha mikro kecil dan Koperasi dengan Pengusaha Menengah/Besar pada dasarnya merupakan kerjasama usaha untuk mencapai tujuan tertentu.
Melalui hubungan kemitraan, usaha diharapkan dapat terjalin lembaga yang erat antara usaha besar/menengah dengan Usaha Mikro Kecil berdasarkan asas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Hubungan yang terjadi dalam sistem kemitraan semacam itu adalah hubungan usaha biasa disertai bantuan pembinaan yang merupakan kepedulian sosio kultural dari usaha besar/menengah yang mempunyai berbagai kelebihan terhadap Usaha Mikro Kecil yang masih mempunyai berbagai keterbatasan.
Guru Besar pertama pada Universitas Widyatama itu juga mengutip pendapat Thee Kian Wee yang menyatakan, kemitraan merupakan kerjasama usaha antara perusahaan besar/menengah yang bergerak di sektor produksi barang-barang, maupun jasa dengan industri kecil berdasarkan asas (1) saling membutuhkan, (2) saling memperkuat, dan (3) saling menguntungkan. Sistem keterkaitan dan kemitraan akan menghasilkan nilai tambah (ekonomi dan sosial) yang akan memperkuat struktur industri dan ekonomi nasional.
Dijelaskan pula bahwa Keterkaitan harus dilaksanakan berantai ke segala jurusan dengan seluas-luasnya dengan saling menguntungkan, yakni melalui : Keterkaitan Vertikal, yaitu : 1. Antara kelompok industri hulu/dasar, kelompok industri hilir dan kelompok industri mikro kecil; Antara berbagai cabang dan atau jenis industry; Keterkaitan Horizontal, yaitu : Keterkaitan antara sektor industri pengolahan dan sektor-sektor ekonomi lainnya. Kemitraan antara pengusaha mikro kecil dan koperasi dengan pengusaha besar/menengah dapat dilakukan melalui berbagai pola kemitraan, yaitu pola kemitraan yang berkaitan dengan corak, model, sistem atau cara kerja dari kemitraan.
Dalam pembahasan ini pola kemitraan diartikan sebagai model atau cara kerja dari kerjasama usaha antara pengusaha mikro kecil dan koperasi dengan pengusaha besar/menengah. Selanjutnya Prof. Maman Suratman mengemukakan bahwa ada 2 pola yang mendasari proses terjadinya kemitraan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, yaitu :
Pola Keterkaitan yang Berwawasan Ekonomis. Didasarkan atas pertimbangan saling menguntungkan. Hubungan antar perusahaan terjadi karena keduanya saling rnembutuhkan, karena ada jasa/produk yang dapat ditawarkan secara ekonomis. Pola ini lebih sustainable, lebih dapat bertahan menghadapi berbagai gejolak perubahan. Contoh dari pola keterkaitan ini adalah :
1) Hubungan sub kontrak antara suatu perusahaan dengan perusahaan lain yang menjadi “main contractor”;
2) Sistem vendor yaitu perusahaan kecil menjadi pemasok bahan mentah perusahaan besar;
3) Sistem kerjasama dagang dimana perusahaan besar bertindak sebagai “traiding house” menjadi pemasok bahan baku dan kemudian memasarkan hasil.
Pola Keterkaitan Berwawasan Pembinaan, yaitu didasarkan pada suatu kebijaksanaan baik dari pemerintah atau dari perusahaan itu sendiri untuk membina usaha kecil sehingga perusahaan kecil berkembang menjadi usaha yang berkemampuan lebih besar.
Pola keterkaitan semacam ini dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu lebih banyak didasarkan pertimbangan non-ekonomis, ada excess capacity yang dapat digunakan untuk pembinaan. Wawasan yang digunakan adalah jangka pendek, dan sesudah beberapa waktu diharapkan Usaha Mikro Kecil yang dibina dapat berkembang secara mandiri. Keterkaitan berwawasan pembinaan dapat juga diarahkan untuk bersifat ekonomis dan diharapkan kemudian berkembang menjadi mitra usaha yang lebih permanen.
Untuk mencapai keberhasilan kemitraan bagi pengusaha mikro kecil perlu diperhatikan :
1. Pemilihan komoditas diutamakan pada komoditas yang mempunyai:
- prospek pasar yang baik.
- keterampilan pembuatannya;
- tersedianya bahan baku secara berkesinambungan;
2. Pemilihan sentra dikaitkan dengan pengembangan komoditas serta memperhatikan potensi pengusaha dan perusahaannya;
3. Pembinaan dilakukan secara paket/utuh untuk mengatasi masalah dalam segala aspek usahanya (Total Approach).
Selanjutnya dari berbagai kasus yang terjadi di beberapa negara, misalnya di India dan Jepang keberhasilan/kegagalan dari pola-pola kemitraan tergantung pada :
- kondisi pasar;
- kekuatan penawaran masing-masing pihak;
- peraturan atau campur tangan pemerintah;
- Jangka waktu kemitraan.
Tingkat keberdayaan usaha mikro/anggota ditentukan oleh delapan variabel yaitu kepuasan ekonomi, pengetahuan, manfaat koperasi, motivasi kontributif, kualitas kewirausahaan pribadi, motivasi berkoperasi, motivasi berpartisipasi, dan tingkat partisipasi, demikian Prof. Maman Suratman menutup pidato orasinya.***
Sumber : (https://cirebon.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-047669012/orasi-ilmiah-prof-maman-suratman-struktur-pelaku-ekonomi-indonesia-lemah-dan-rapuh-simak-alasannya)