Posisi Tawar Bahasa Indonesia

Peristiwa Sumpah Pemuda 88 tahun yang lalu salah satunya adalah manifesto politik bahasa. Dalam konteks politik bahasa, bahasa Indonesia diposisikan bukan hanya sebagai bahasa resmi negara tapi juga sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia, dan pada saat yang sama bahasa Indonesia berfungsi sebagai lingua franca (bahasa pengantar) bagi bangsa Indonesia di penjuru tanah air Indonesia. Dengan demikian, kita harus bangga dengan konten statemen bagian akhir Sumpah Pemuda setelah dua konten lainnya, yakni bertanah tumpah darah satu tanah air Indonesia, dan berbangsa satu bangsa Indonesia.

Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”

Bila kita cermati frasa ‘menjunjung tinggi’ dalam salah satu bunyi teks Sumpah Pemuda di atas memiliki tiga makna, yaitu: memuliakan, menghargai dan menaati (KBBI, 2008:593). Bunyi Sumpah Pemuda pada bagian terakhir tersebut mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia (putera-puteri Indonesia) memiliki kewajiban untuk memuliakan dan menghargai bahasa Indonesia dengan menggunakannya secara baik dan proporsional. Begitulah seharusnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan kita perlakukan. Namun sikap bahasa seperti itu masih menyisakan satu persoalan besar, ‘Adakah kita memperlakukannya sedemikian di tengah terkepungnya bahasa Indonesia baik oleh bahasa asing (baca: bahasa Inggris) maupun oleh bahasa pergaulan sehari-hari (vernacular) dalam konteks keindonesiaan?’ Ini bukanlah pertanyaan pesimis yang tak terukur, indikasi dan fenomena terhadap rendahnya sikap bahasa sudah mulai terasa. Semakin hari aroma percampuran ketiganya (bahasa asing, bahasa Indonesia dan bahasa pergaulan) semakin semerbak.

Dalam berbagai kesempatan sering ditemukan baik pejabat, orang biasa, para akademisi, mahasiswa dan anggota masyarakat ilmiah lainnya yang masih gemar menyisipkan bahasa asing baik dalam rangkaian pembicaraannya maupun tulisannya. Penggunaan bahasa asing bukan hal terlarang baik dalam ragam bahasa lisan maupun tulis sepanjang masih berada pada batas kewajaran dalam sikap bahasa. Ada tiga kemungkinan pertimbangan mengenai alasan terhadap penggunaan bahasa asing. Yang pertama, bahasa Indonesia mungkin dianggap kurang memiliki kapasitas dalam menampung makna yang ada dalam pikiran penutur/penulisnya. Yang kedua, penggunaan bahasa asing, boleh jadi, masih diyakini mampu menaikkan gengsi dan prestise bagi penutur/penulisnya sehingga diharapkan, siapapun yang melihat dan mendengarnya atau membacanya akan menganggap dia sebagai kelompok terpelajar (kaum intelek). Yang ketiga, adanya kekosongan leksikal (lexical gap), yang dipahami sebagai kata yang tidak memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia, dan fenomena seperti ini biasanya terjadi karena terkait dengan aspek budaya.

Maraknya penggunaan bahasa asing dipicu setidaknya oleh lima faktor, yaitu: 1) pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, 2) lesunya kegiatan lomba-lomba bidang bahasa dan kebahasaan, 3) pembelajaran bahasa yang relatif kaku, 4) kurangnya figur teladan berbahasa, baik dalam ragam bahasa lisan maupun tulis, dan 5) konsistensi kebijakan bahasa.

Perkembangan teknologi yang semakin cepat ‘memaksa’ orang untuk berpikir cepat pula, yang pada gilirannya akan mempengaruhi penggunaan bahasa secara cepat dalam arti lebih singkat tanpa memperhatikan kaidah yang berlaku, misalnya, kata ‘sudah’ menjadi ‘dah’, kata ‘belum’ menjadi ‘lum’, kata ‘memang’ menjadi ‘emang’, kata ‘pakai’, ‘memakai’, ‘dipakai’ masing-masing menjadi ‘pake’, ‘make’, dan ‘dipake’, frasa ‘terima kasih’ dan ‘tidak tahu’ masing-masing menjadi ‘makasih’ dan ‘gatau’, dan sebagainya. Contoh lain yang sangat menarik sekaligus cukup menyedihkan adalah ungkapan/kalimat yang disampaikan oleh seorang mahasiswa pada saat mempresentasikan proposal penelitiannya. Dia mengatakan sebagai berikut: “Dari data tersebut, aku nyimpulin bahwa….” Dengan jelas penggunaan kata ‘nyimpulin’ dalam kalimat tersebut sangat tidak tepat untuk konteks formal seperti itu. Kebiasaan menggunakan kata/frasa yang keliru tidak menutup kemungkinan terbawa dalam kontek kebahasaan yang formal seperti perkuliahan, ujian sidang skripsi, dan berbagai konteks kebahasaan lainnya yang bersifat formal. Boleh jadi kekeliruan berbahasa terjadi karena kurangnya pengalaman berbahasa sebagai sarana pembelajaran dalam mengkomunikasikan gagasannya baik melalui ragam lisan maupun tulis, terlebih mengikuti ajang kompetisi di berbagai lomba terkait dengan penggunaan bahasa.

Penyelenggaraan lomba-lomba di bidang bahasa dan kebahasaan oleh institusi pendidikan (negeri/swasta), organisasi pemerhati pendidikan (LSM pendidikan), media (cetak/elektronik) jumlahnya masih terbatas. Selain itu, kegiatan kompetisi bahasa dan kebahasaan tersebut belum mampu menarik minat calon peserta, baik di tingkat pendidikan dasar, menengah maupun di tingkat pendidikan tinggi. Dengan demikian, kondisi seperti itu akan berdampak pada mutu proses kompetisi tersebut. Rendahnya minat peserta terhadap kompetisi bidang kebahasaan tidak terlepas dari mutu pembelajaran bahasa, baik di sekolah maupun di kampus.

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah tampak belum menyentuh  pada ranah sikap pengguna bahasa terhadap bahasanya. Kurikulum terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia tampaknya belum mengarah pada bagaimana menghormati dan menghargai bahasa Indonesia secara proporsional sehingga dapat melahirkan kebanggaan pada diri kita sebagai pengguna bahasa, yakni bahasa Indonesia. Sementara salah satu pemicu timbulnya rasa bangga terhadap suatu bahasa adalah adanya figur teladan berbahasa yang dipahami sebagai sosok pengguna bahasa yang elegan, baik dari sisi pilihan katanya, strukturnya, maupun dari sisi ragam dan gaya bahasanya.

Keberadaan figur tersebut menempati posisi yang strategis terlebih ketika figur tersebut dihormati, dicintai, dan disegani serta memiliki pengaruh yang luas, banyak pengikut atau penggemar. Figur tersebut bisa berasal dari kalangan pejabat negara, tokoh politik, pemimpin publik, artis papan atas, tokoh keagamaan, dan tokoh masyarakat lainnya. Semakin baik bahasa yang digunakan oleh figur tersebut, semakin besar kemungkinan perkembangan bahasa Indonesia ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, semakin jelek bahasa yang dipakai oleh figur tersebut, semakin suram perkembangan bahasa Indonesia di negeri ini. Satu ilustrasi yang sangat menarik adalah potongan kalimat dalam pidato sosialisasi program yang disampaikan oleh seorang Gubernur DKI Jakarta dihadapan warga Kepulauan Seribu tanggal 27 September 2016 yang lalu, yang kemudian menuai kontroversi, yaitu: “….dibohongin pake surat Al-Maidah 51, ….” Dua kata yang digarisbawahi yang ada dalam contoh ujaran tersebut sama sekali tidak menunjukkan sikap bahasa yang baik. Dengan demikian, dapat dimaklumi bila staf yang ada di lingkungan pemerintahan kota DKI khususnya, dan warga Jakarta pada umumnya menggunakan bahasa Indonesia yang kurang berterima. Di sini kebijakan bahasa yang mengarah pada sikap masyarakat terhadap bahasa resmi kita – bahasa Indonesia haruslah jelas dan terukur.

Lembaga yang paling bertanggungjawab terhadap kebijakan bahasa adalah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa). Badan Bahasa inilah, dengan kebijakan bahasanya, harus memiliki dan menjalankan geliat program kebahasaan secara konsisten dan berkelanjutan, bukan dengan manajemen ‘gatal-garuk’, misalnya dalam hal pemutakhiran lema yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Konsistensi kebijakan bahasa terkait dengan periode pemutakhiran lema dan peningkatan jumlah lema tampaknya masih perlu diuji. Sebagai gambaran umum bahwa KBBI edisi ke-1 1988 memiliki 62.100 lema, KBBI edisi ke-2 1991 memiliki 72.000 lema, KBBI edisi ke-3 2005 memiliki 78.000 lema, dan KBBI edisi ke-4 2008 memiliki 90.000 lema. KBBI edisi terbaru nanti, yakni edisi yang ke-5 tahun 2016 ini, diharapkan memiliki tambahan lema sebanyak 15.000-20.000, berdasarkan hasil Lokakarya Pemutakhiran KBBI pada tanggal 21-23 September 2016 yang lalu, sehingga menjadi lebih kurang 110.000 lema. Dari data tersebut, konsistensi terkait dengan periode pemutakhiran lema dan target jumlah lema untuk tiap-tiap periode masih bersifat fluktuatif dengan rata-rata kenaikan jumlah lema per-periode sebesar 15,46%.

Kelima tinjauan faktor terkait dengan permasalahan bahasa tersebut di atas dapat dipetakan ke dalam dua bagian besar, yakni Badan Bahasa dan pengguna bahasa. Badan Bahasa adalah sebuah lembaga yang berada di bawah Kemendikbud yang betugas melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra Indonesia. Dari situ jelas bahwa Badan Bahasa sudah seharusnya memiliki perancangan bahasa yang jelas, sistematis, dan terukur. Sementara pengguna bahasa yang meliputi individu/kelompok dan media (baik media cetak maupun elektronik) sudah sepantasnya mendukung terhadap kebijakan penggunaan bahasa, dan memiliki tanggungjawab terhadap pemeliharaan bahasa secara baik. Para pengguna bahasa (individu/kelompok) sudah semestinya memiliki kesadaran pentingnya ketepatan penggunaan bahasa, kapan ragam bahasa tulis dan lisan itu digunakan secara proporsional. Sementara itu, media (cetak/elektronik) harus bersedia memberi contoh yang baik kepada pembacanya dalam hal penggunaan bahasa, bahkan harus rela untuk turut serta ‘memasarkan’ lema baru sebagai bagian dari pemutakhiran lema produk Badan Bahasa.

Kedua bagian tersebut (Badan Bahasa dan pengguna bahasa) harus ‘saling menyapa’ sehingga keduanya memiliki pemahaman yang paralel terhadap berbagai isu dan perkembangan bahasa. Dengan demikian, diharapkan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang senantiasa kita hormati dan banggakan, yang pada gilirannya bahasa Indonesia tetap memiliki posisi tawar yang jelas, tidak lagi terpinggirkan oleh bahasa mana pun, dan ragam bahasa apa pun di tanah air tercinta ini.

 

Oleh Dr. Hero Gunawan

Dekan Fakultas Bahasa Universitas Widyatama Bandung